
KBRN, Jakarta: Koalisi Indonesia Lestari (KAWALI) menyoroti lahan basah Indonesia, lantaran 90 persen lahan basah dunia terdegradasi yang disinyalir lebih cepat dari deforestasi hutan dunia.
Ketua Harian DPN Koalisi Indonesia Lestari (Kawali), Wisnu Simba, mengatakan, terdapat temuan utama yang bersumber dari Konvensi Ramsar, dari prospek lahan basah global yang pertama kali perjanjian global yang diratifikasi oleh 170 negara lahan basah.
“Area seperti Rawa Asin, Padang Lamun, dan hutan bakau, lahan gambut, yang hanya mencakup 3% dari permukaan daratan dunia, menyimpan karbon dua kali lebih banyak daripada hutan,” katanya, secara tertlis, Rabu (5/2/2025).
Dijelaskan, Wisnu, lahan basah juga membantu mengurangi risiko bencana, karena dapat mengurangi banjir dan melindungi garis pantai.
“Sekitar 35% lahan basah dunia hilang antara tahun 1970 hingga 2015 dan tingkat kehilangannya terus meningkat setiap tahun sejak tahun 2000-2025. Sepanjang pesisir pantai utara Jawa juga tidak kalah bahayanya,” ucapnya.
Menurut, Wisnu Simba, rusaknya ekosistem pesisir pantai utara jawa dan aktivitas manusia dalam bentuk pertanian, tabak dan alih fungsi lahan serta pembangunan perkotaan menjadi pemicu stres alami.
Dia, beranggapan, bukan lagi darurat ekologi tetapi over stress populasi di Pulau Jawa akibat pembangunan.
“Kami optimis Gerakan Sabuk Hijau Sepanjang Pesisir Pantai Utara Jawa bisa mengurangi lajut over stres ekologi, karena gerakan ini mempunyai dampak yang sangat signifikan mangrove sebagai benteng kedaulatan pesisir pantai,” ujarnya.
Wisnu, mengungkapkan pada 2018 mencoba kolaborasi melakukan penanaman Mangrove di Pantai Muara Gembong Kabupaten Bekasi Jawa Barat.
“Sampai saat ini sudah tertanam kurang lebih 50 Hektare di area terdampak erosi pada saat banjir rob dampak nya sedikit berkurang dengan adanya mangrove,” katanya
Lebih lanjut, Wisnu, mengaku konsistensi KAWALI bisa memberikan advokasi pemberdayaan sampai dengan ekonomi sircular cukup terbantukan dengan adanya penanaman Mangrove.
“Karena dari tanaman Mangrove bisa dihasilkan berbagai bahan seperti pewarna batik, bahan baku terasi, kripik dan lainnya,” ucapnya.
Wisnu Simba, optimis mangrove bisa menjadi ketahanan pesisir pantai dan ketahanan ekonomi sircular KAWALI dan mendukung penuh program FOLU Net Sink 2030 mendorong tercapainya tingkat emisi GRK sebesar -140 juta ton CO2e pada tahun 2030.
“Bahwa sektor FOLU memiliki peran besar dalam upaya pencapaian target Net Zero Emission (NZE) nasional, dari net emitor menjadi penyerap bersih GRK,” ujarnya.