
JAKARTA — Temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bahwa air hujan di Jakarta mengandung partikel mikroplastik harus dibaca sebagai alarm serius bagi bangsa ini. Fenomena ini menandai babak baru polusi plastik yang kini tidak hanya mencemari tanah dan laut, tetapi telah naik ke atmosfer dan kembali ke manusia melalui siklus hidrologi.
“Temuan ini menjadi alarm keras bahwa perilaku masyarakat kita, khususnya urban modern, dengan masifnya penggunaan material mengandung unsur plastik, telah menciptakan dampak dan siklus baru,” tegas Ketua Umum Koalisi kawali Indonesia Lestari (KAWALI) Puput TD Putra, kepada awak media.
Penelitian BRIN mengungkap, dalam 1 meter persegi area penelitian di Jakarta, ditemukan rata-rata 15 partikel mikroplastik setiap hari yang larut dalam air hujan. Partikel-partikel beracun ini berasal dari serat sintetis pakaian, debu kendaraan dan ban, sisa pembakaran sampah plastik, serta degradasi plastik di ruang terbuka.
Temuan ini diperkuat oleh penelitian terbaru (Mei-Juli 2025) yang menempatkan Jakarta Pusat sebagai zona terkontaminasi mikroplastik udara tertinggi di Indonesia dengan 37 partikel per 2 jam per 90 cm². Kombinasi lalu lintas padat, industri tekstil seperti Pasar Tanah Abang, dan praktik pembakaran sampah yang buruk diidentifikasi sebagai hotspot utama pencemaran.
Yang lebih mengkhawatirkan, mikroplastik ini bukan lagi ancaman di luar rumah. Studi kolaborasi antara universitas dan lembaga penelitian (2023-2024) menemukan mikroplastik pada 95% sampel darah, urin, dan feses partisipan. Penelitian tersebut mengungkap hubungan antara paparan mikroplastik dan peningkatan risiko penurunan fungsi kognitif hingga 36 kali lipat.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam pernyataannya mengonfirmasi keprihatinan terhadap temuan ini. “Kami memantau perkembangan ini sangat serius karena berdampak langsung pada kesehatan masyarakat,” ujarnya.
Puput TD Putra menilai hal ini menyingkap kelemahan fundamental kebijakan pengelolaan sampah plastik nasional. “Pemerintah selalu dengan dengungan konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle), padahal kita tahu 3R sudah setengah abad lebih tidak menjadi solusi sampah plastik dan berakhir di TPA menjadi sampah plastik lagi,” kritiknya.
Ia mendesak pemerintah untuk bergerak melampaui retorika. Langkah konkret yang dituntut termasuk mempercepat dan memperluas larangan plastik sekali pakai, serta mendorong transisi masif ke sistem kemasan guna ulang dan bahan biodegradable yang benar-benar teruji.
Beberapa daerah telah memulai langkah progresif. Kota Yogyakarta, misalnya, telah resmi memberlakukan Surat Edaran Wali Kota tentang Pembatasan Plastik Sekali Pakai sebagai wujud nyata menuju kota ramah lingkungan. Kota Bekasi juga telah memiliki Perwali No. 37/2019 tentang penggunaan kantong belanja ramah lingkungan.
Namun, tanpa kebijakan nasional yang terintegrasi dan berani, upaya ini ibarat menutup mata terhadap luapan sampah di tempat pembuangan akhir. Data Kementerian Lingkungan Hidup 2025 menunjukkan 70,7% titik pemantauan sungai di Indonesia dalam kondisi tercemar, dengan DKI Jakarta menjadi salah satu provinsi dengan kondisi terparah. Sungai-sungai ini kemudian membawa mikroplastik ke laut, memicu siklus pencemaran yang tak berujung.
Sebagai solusi mendesak, Puput TD Putra merekomendasikan peralihan ke teknologi bahan ramah lingkungan. “Pemerintah harus mendorong penggantian dengan teknologi kantong ramah lingkungan seperti kantong belanja, kemasan makanan dengan plastik jenis oxobiodegradable atau kantong biodegredabel berbasis singkong,” jelasnya.
Dengan proyeksi produksi plastik global yang terus melonjak, fenomena hujan mikroplastik adalah cermin yang memantulkan kembali semua kegagalan kita. Langit Jakarta, menurut peneliti BRIN Reza Cordova, sedang memantulkan perilaku manusia di bawahnya. Alarm telah berbunyi. Apakah kita akan bangun atau terus tertidur?
