RADARDEPOK.COM – Situ sebagai salah satu resapan air yang mempan menanggulangi banjir, justru menghilang di Kota Depok. Lalu lalang truk pengangkut tanah begitu sibuk menguruk Situ Kancil di RW7 Kelurahan Curug, Bojongsari Kota Depok, Minggu (6/11). Pemandangan itu sudah berlangsung sejak tiga bulan terakhir. PT GPI disebut-sebut yang menyulap situ seluas 1,3 hektar menjadi tanah kosong, yang dulu hijau.
“Ketika situ diuruk, tentunya akan dipermasalahkan. Karena situ tersebut tidak untuk diperjualbelikan,” ucap warga RT1/7 Kelurahan Curug, Naim kepada Radar Depok, Minggu (6/11).
Naim membeberkan, luas Situ Kancil secara keseluruhan kurang lebih 1,3 hektar. Sudah setengah bagian dari situ tersebut diuruk oleh PT GPI. “Awal perjanjian, Situ Kancil ini akan dipercantik. Tapi ternyata diuruk, berarti terdapat proses jual beli lahan yang tidak diketahui dilakukan oleh siapa dengan siapa,” jelasnya.
Naim mengatakan, pengairan di Situ Kancil dari warga sangat berarti. Apabila secara keseluruhan nantinya diuruk, tentunya resapan air yang ada di lingkungan menjadi berkurang. “Air hujan mengalirnya ke situ. Sedangkan, saluran untuk pembuangannya juga sudah diuruk, tentu resapan air akan berkurang dan berdampak juga untuk warga sekitar,” tegasnya.
Naim melanjutkan, proyek yang berlangsung tersebut sudah berjalan kurang lebih tiga bulan lalu. Ia menginginkan, situ yang ada tidak untuk diuruk namun diperbaiki atau dipercantik.
Sementara, Ketua RT1/7 Curug, Pendi menjelaskan, sebelumnya ada yang datang ke warga bukan pihak PT GPI selaku penyelenggara proyek. Melainkan kepala regu dari pihak proyek, dia menjanjikan untuk dipercantik lagi Situ Kancil tersebut. “Perlu digaris bawahi, jika pihak proyek tidak menepati janji tersebut, kemungkinan besar warga akan bertindak karena janji yang dilontarkan tentu harus ditepati,” singkatnya.
Murtalih menjelaskan, sekitar tahun 1960-an lahan Situ Kancil dimiliki PT Propelat, yang kemudian dibeli PT GPI sekitar tahun 1995-an. Namun, sepertiga lahan dari Situ Kancil dikelola warga berupa sawah yang masih tersisa.
“Kemudian sepertiga lahan tersebut dibeli PT GPI tahun 1996-an, dilanjutkan dengan penggusuran atau pengerukan pertama, diduga untuk mengecek lahan yang sudah dibeli pada tahun 1997. Namun setelah diuruk di tahun tersebut, akhirnya mangkrak hingga tahun 2002-an,” ucap Murtalih.
Daripada mangkrak, lanjut Murtalih, akhirnya masyarakat sekitar melampirkan surat perizinan dengan kelurahan setempat, untuk menggarap lahan yang mangkrak tersebut untuk ditanami tumbuh-tumbuhan yang dapat dimanfaatkan warga sekitar.
“Namun perizinan tersebut dengan catatan, jika sewaktu-waktu lahan tersebut ingin digarap kembali PT GPI tidak ada sistem ganti rugi dari apa yang sudah digarap masyarakat terhadap lahan tersebut,” terangnya.
Menimpali hal ini, Ketua Umum Koalisi Kawali Indonesia Lestari (Kawali), Puput TD Putra mengatakan, tidak seharusnya dilakukan pengurukan, diuruk sama saja menghilangkan fungsinya, pada intinya tidak boleh diuruk. “Dalam pengelolaannya, danau mempunyai fungsi utama yakni untuk menstabilkan aliran air, konservasi air dan di lain sebagainya. Danau juga mempunyai fungsi ekonomi yang sangat tinggi, yaitu untuk penyediaan air bersih, baik untuk minum,irigasi juga untuk perikanan budidaya maupun perikanan tangkap,” tuturnya.
Puput melanjutkan, bibir danau atau garis sempadan danau adalah luasan lahan yang mengelilingi dan berjarak tertentu, dari tepi badan danau yang berfungsi sebagai kawasan pelindung danau, fasilitas publik, masyarakat dan kepentingan aspek lingkungan. “Danau merupakan bagian dari ekosistem, sumber daya air, sumber air yang memiliki nilai ekonomi, ekologis, sejarah, budaya, dan hubungan yang erat dengan kehidupan masyarakat disekitarnya,” lanjutnya.
Jika pihak proyek tersebut menjadikannya sebagai perumahan, ucap Puput, harus ada kajian lingkungannya dan tidak melanggar garis sepadan sungai. Garis sepadan sungai itu masuk juga sebagai ruang publik atau fasilitas publik luas.
“Terkait dengan jual beli lahan, harus ada pembuktian alas haknya apa atas klaim memiliki lahan dan danau tersebut. Apabila perusahaan, pemilik lahan terbukti melanggar peraturan garis sepadan, akan ada sanksi hukum yang menanti,” tegasnya.
Selain ancaman hukuman pidana, lanjut Puput, pembongkarandan penyegelan bangunan bisa saja terjadi. Pelanggaran terhadap ketentuan peraturan daerah setempat, juga dapat dikenakan tindakan berupa pencabutan izin membangun bangunan. “Pencabutan izin untuk menggunakan atau kelayakan menggunakan bangunan, serta teguran atau pencabutan izin untuk perancang, perencana, direksi pengawas, pengkaji, dan pemborong itu sendiri. Pejabat pemerintah terkait yang lalai akan tugas dan fungsinya juga bisa kena sanksi,” bebernya.
Sementara, keberadaan Situ Kancil di Kelurahan Curug, Kecamatan Bojongsari menjadi sebuah misteri. Pasalnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Depok tidak pernah mendengar bahkan mengetahui adanya situ tersebut.
“Saya baru dengar namanya. Tidak ada namanya pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Depok,” tegas Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kota Depok, Citra Indah Yulianti saat diwawancarai Harian Radar Depok, Minggu (6/11).
Bahkan dipastikan Citra, nama Situ Kancil itu juga tidak ada di Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Yang diketahuinya Situ Bungur, lokasinya berada di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan. “Di Kementerian ATR juga tidak ada nama Situ Kancil, yang ada Situ Bungur di Pasir Putih,” lanjutnya.
Ketika ditanya soal hilangnya Situ Kancil itu karena diuruk salah satu proyek perumahan, mantan Sekdis PUPR Depok ini juga tidak membenarkan adanya kejadian tersebut.(ama/arn/rd)
Jurnalis : Aldy Rama, Arnet Kelmanutu
Editor : Fahmi AKbar