Alat Pelindung Diri (APD) yang saat ini menjadi sampah medis, seharusnya dapat dikelola dengan baik agar dapat diproses sebagaimana mestinya, serta tidak disalahgunakan oleh oknum tak bertanggung jawab (Dok. RRI) Oleh: Sugandi AfandiEditor: Miechell Octovy Koagouw 28 Des 2020 18:17
KBRN, Jakarta: Pegiat lingkungan menilai pengelolaan limbah atau sampah medis COVID-19, belum maksimal.
Ketua Umum Koalisi Kawal Lingkungan Hidup Indonesia Lestari (Kawali), Puput TD Putra, mengatakan, kerap dijumpai sampah medis terutama masker dibuang sembarangan baik di pemukiman maupun Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).
“Masih banyak ditemukan di TPA maupun di pemukiman. Aku lihat belum maksimal khususnya masker tercecer di tong sampah milik masyarakat maupun TPA,” kata Putra saat dihubungi RRI di Jakarta, Senin (28/12/2020).
Menurut dia, seharusnya pemerintah menyediakan box khusus untuk sampah medis di pemukiman warga sehingga tidak tercampur dengan sampah lainnya.
Kemudian, diangkut dan dibuang ke TPA dan dibakar dengan alat khusus.
Nyatanya sampah dicampur kemudian di TPA berserakan, dijumpai masker bekas, jarum suntik dan sampah medis lainnya.
“Masyarakat harus disiapkan box khusus, tidak harus permanen. Misalnya dalam bentuk plastik berwarna untuk menaruh bekas limbah masker. Setelah terkumpul jangan dicampur. Dikumpulkan di TPS tingkat RW lalu diserahkan ke pihak yang ahli untuk dimusnahkan dan terpisah dengan limbah lain,” sambungnya.
Biasanya sampah yang terkumpul, diangkut dan dibuang di pembuangan akhir Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, atau TPA Sumur Batu, yang juga berlokasi di Bekasi.
“Mungkin karena banyak limbah tidak tertangani dengan baik, akhirnya pihak ketiga mengelola tidak maksimal. Ada oknum membuang ke TPA sembarangan,” ujarnya.
Kawali mendorong agar anggaran penanganan COVID-19, selain untuk kesehatan dan pemulihan ekonomi, juga untuk membeli alat pembakar sampah medis dengan teknologi tinggi karena volume sampah medis terus meningkat.
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ada peningkatan sampah medis selama pandemi yakni 30-50 persen.
Alat yang biasa untuk membakar sampah medis dikenal dengan incinerator.
“Kami dari Kawali mendorong kebijakan setiap daerah adanya teknologi pemusnahan limbah medis misalnya generator dikelola dengan kapasitas 100 ton per hari. Kalau sekarang kan baru sebatas penyuluhan masker tetapi tidak ada anggaran untuk pemusnahan. Banyak rumah sakit di daerah, tidak tertampung dan membuang ke Pulau Jawa,” ujarnya.