Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merilis laporan mengenai Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Tahun 2020, yang disebut mengalami peningkatan dari target pembangunan jangka menengah nasional. Benarkah demikian?
SURABAYA —
Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) di Indonesia menurut laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengalami peningkatan selama tahun 2020 sebesar 3,74 persen, dari target 68,71 menjadi 70,27 persen. Hal ini dipengaruhi oleh 6 indikator yaitu Indeks Kualitas Air, Indeks Kualitas Udara, Indeks Kualitas Lahan, Indeks Tutupan Lahan, Indeks Ekosistem Gambut, dan Indeks Kualitas Air Laut.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, KLHK, Karliansyah, mengatakan pandemi COVID-19 selama 2020 menjadi salah satu faktor perbaikan kualitas lingkungan hidup, terutama kualitas udara di sejumlah kota di Indonesia. Selain itu, perubahan perilaku masyarakat dari transportasi pribadi menjadi transportasi massal, dinilai berpengaruh terhadap perubahan kualitas udara.
“Beberapa kota itu mengalami penurunan konsentrasi NO2 (nitrogen dioksida) dan SO2 (sulfur dioksida), jadi ini baik dari sumber yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Kita sama-sama lihat banyak yang waktu awal-awal kejadian (pandemi COVID-19) semuanya WFH, jadinya industri itu menjadikan produksinya jauh menurun. Nah ini kita harus akui ada kontribusi terhadap perbaikan itu (kualitas udara dan lingkungan hidup).”
Peningkatan indeks kualitas lingkungan hidup menurut KLHK dipengaruhi oleh perbaikan Indeks Kualitas Udara (IKU) dan Indeks Kualitas Air (IKA). Indeks Kualitas Udara dinilai sangat penting karena berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat, yang menghirup udara secara langsung. Sedangkan untuk air, masih diperlukan pengolahan terlebih dahulu sebelum dikonsumsi.
Karliansyah mengatakan, peningkatan kesadaran masyarakat dengan turut menjaga kebersihan lingkungan, mempengaruhi perbaikan kualitas air di sejumlah daerah. Kualitas air sangat dipengaruhi oleh limbah atau sampah yang dibuang ke sungai atau perairan.
“Dengan hanya mengelola sampah yang tadinya itu masuk ke sungai, limbah organik itu turun 52,1 persen, jadi ini hal yang sederhana sebenarnya. Kalau mau perilaku hidup berubah, tidak lagi membuang sampah ke sungai itu Insha Allah membantu perbaikan kualitas air,” jelasnya.
Namun Ketua Umum Koalisi Kawali Indonesia Lestari, Puput TD Putra, menilai peningkatan indeks kualitas lingkungan hidup yang disampaikan KLHK, tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan kondisi lingkungan secara umum di Indonesia. Ini dikarenakan belum mengalami perbaikan secara nyata, terutama karena masih belum sinkronnya kebijakan pemerintah pusat dan daerah.
“Pertama berkurangnya industri yang beraktivitas seperti di Jabodetabek, jelas itu ada, tapi perubahan itu aku lihat tidak signifikan. Tapi kalau melihat situasi aktivitas dan kejadian, ini tidak ada perubahan, belum ada sanksi tegas, artinya pencemaran ini masih berlanjut,” jelas Puput.
“Kualitas air sendiri di Jakarta dan sekitarnya, ini masih kurang baik kami melihat, karena di daerah Jakarta Selatan sekarang sudah mulai terdampak air bawah tanahnya. Terus juga di daerah-daerah lainnya juga, artinya banyak daerah-daerah resapan atau cekungan air yang dijadikan wilayah komersial atau industri,” imbuhnya.
Koordinator Komunitas Nol Sampah Surabaya, Hermawan Some, juga menyoroti kondisi pencemaran lingkungan oleh sampah plastik yang masih belum tertangani secara serius. Peraturan Menteri LHK Nomor P.75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen hingga 2030, justru melonggarkan upaya pengurangan sampah plastik sesuai target Indonesia Bebas Sampah 2025. Pemerintah daerah juga dinilai tidak serius mengatasi masalah sampah yang jadi sumber pencemaran air maupun tanah, karena anggaran yang dikeluarkan sangat kecil.
Sampah-sampah plastik mencemari Laut Teluk Lampung, Bandar Lampung, 21 Februari 2019. (foto: ilustrasi/AFP).
Sampah-sampah plastik mencemari Laut Teluk Lampung, Bandar Lampung, 21 Februari 2019. (foto: ilustrasi/AFP).
“Anggaran-anggaran pemerintah, pemerintah daerah itu kalau kita cek, terutama kabupaten, itu sangat minim untuk pengolahan sampah. Ya bagaimana bisa mengangkut sampah, bagaimana bisa beli tanah untuk pengolahan sampah di TPA kalau anggarannya tidak ada. Nah ini yang jadi masalah serius sebenarnya. Jadi, pemerintah daerah, pemerintah pusat belum serius untuk melakukan penyelesaian masalah sampah ini,” kata Hermawan Some.
Hermawan mendesak adanya peraturan wali kota dan bupati yang membatasi pemakaian plastik sekali pakai, sebagai upaya mempertegas peraturan mengenai penanganan sampah di daerah. Dari 400 lebih kabupaten dan kota di Indonesia, baru sekitar 30-an daerah yang memiliki peraturan yang mengatur teknis penanganan masalah sampah. [pr/em]